Dedikasi Untuk Negeri

#TINDAKAKSINYATA

Terbuat Dari Apa Hati Kalian?

Oleh: BINTANG SIRIUS
(Cerita tentang pengabdian di Entikong Kalimantan Barat mengenai kemanusiaan dan toleransi yang tinggi oleh masyarakat)

Semua kisah dimulai karena ketulusan, ketulusan yang membuat semua terasa indah pun hasilnya juga sampai ke hati. Pengabdian berbalut dadakan tak menyurutkan semangat untuk terus berjuang di wilayah pedalaman, iya di Entikong Kalimantan Barat. Pendidikan di Entikong memang sangat miris, di mana hanya ada sekolah SD pun itu hanya dari kelas 1 sampai kelas 4, dan hanya terdapat satu guru. Namun jangan salah kira, anak-anak di sana memiliki semangat yang luar biasa untuk bersekolah. Masyarakat di Entikong mayoritas beragama Kristen dan pemeluk agama Islam hanya ada dua keluarga. Sedangkan kami para volunteer pengabdian Entikong mayoritas beragama Islam. Dan aku mulai berfikir bagaimana di sana nanti? Apakah masyarakat yang mayoritas beragama Kristen bisa menerima kita yang mayoritas Islam? 

“Silahkan dimakan, jangan sungkan-sungkan.” ucap ibu guru SD Entikong.

“Itu yang merah-merah bukan daging babi kan ya?” tanyaku pada Nana.

“Yang penting yakin, yakin bukan daging babi hehe” jawab nana padaku.

Tanpa ragu lagi aku dan teman-teman makan makanan yang sudah disediakan. Kami disambut dengan sangat luar biasa oleh masyarakat di sana, keramahan mereka terhadap kami dan senyum ketulusan mereka yang tidak bisa dibohongi. Kamipun bertempat tinggal di rumah Pak Surya yang merupakan salah satu dari dua keluarga yang beragama Islam. Pak Surya dan keluarganya dengan sangat senang hati menerima kami. 

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Bapak Ibuk.” Celetukku sok ramah padahal mereka beragama Kristen, dalam hati aku dah takut banget.

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh nak” Jawab ibu-ibu di sana ditambah dengan lengkungan senyum manis.

(Aku masih kaget dan terdiam)

“Gini Pak Buk kedatangan kami di sini untuk mensosialisasikan nantinya kegiatan pengabdian kami selama 10 hari kedepan dan nanti malam ada pembukaan mohon kehadirannya ya Pak Buk.” Penjelasan Kak Gilang kepada  warga.

“Kok cuma 10 hari, kenapa nggak sebulan nak?” tanya mereka.

(dan aku masih bengong tertegun melihat masyarakat menanggapi kami)

“Iya karena kami di Jakarta juga masih punya tanggungan ada yang bekerja ada yang kuliah ibuk.” Jelas Kak Gilang.

“Oalah iya diusakan dating acara pembukaannya.”

“Makasih banyak ya Pak Buk, kita pamit.” Ucapku tambah senyum manis dong 😊

 

Lengkungan Pelangi di Entikong kala sore itu serasa tau bahwa kegembiraan atas kedatangan kita adalah suatu yang dinanti-nanti. Bagaimana anak-anak di sana yang selalu menunggu kakak-kakak volunteer mengajar, dengan sangat pagi mereka sudah berangkat ke sekolah yang seharusnya mereka ini libur tapi karena kedatangan kami mereka masuk sekolah. Tapi apakah mereka marah?? TIDAK!! TIDAK SEDIKITPUN!! Mereka begitu semangat menunggu kami yang telat ke sekolah untuk berbagi ilmu. Mereka begitu tulus melakukan kegiatan bersama kami. 

“Kak Nafisah ayok main sepak bola, mau nggak?” ajak anak-anak kepadaku.

“Main sepak bola lagi?” tanyaku.

“Iya, ayok kak.” Antusias mereka mengajakku.

“Kak Nafisah sembahyang dulu boleh?” tanyaku karena saat itu aku belum sholat ashar.

“ Iya kak sembahyang dulu lebih penting, nanti habis itu kesini main bola. Semangat kak Nafisah sembahyangnya.” Ucap ceria mereka.

“Iya sayang.” Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa karena sekeren itu mereka toleransinya.

Sepuluh hari bersama dengan mereka adalah suatu cerita yang singkat namun panjang untuk dituliskan. Begitu dengan rasa yang tak kunjung padam dengan rasa sayang, karena memang ketulusan tidak bisa dibohongi hasilnya. Apalagi ketemu dengan 2 keluarga beragama Islam di Sana, masyarakat yang mayoritas beragama Kristen tapi bisa bertoleransi dengan 2 keluarga beragama Islam yang menjadi minoritas di Sana. Selain memiliki toleransi yang tinggi mereka juga memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Ketika memberikan satu hati maka mereka akan memberikan sepuluh hati untuk kita. Sungguh terbuat dari apa hati kalian? 

***

Ketika waktu memakan semua kesempatan untuk bersama lagi tangis itu menjadi saksi bahwa rindu yang panjang akan segera dimulai. Telah habis waktu kami untuk pengabdian di Entikong, maaf kami memang memilih pulang dan meninggalkan kalian. Semoga kita bisa ditemukan pada takdir yang lebih indah nantinya. Walaupun kepulangan ini menjadikan jauh di Antara kami, namun persaudaraan kami tetap menyala bahkan setiap harinya kami VC ataupun komunikasi via WA. Dan, ku kira toleransi itu akan hilang setelah kita tidak bersama pada geografis yang sama. Namun ternyata, 

“Kak Nafisah selamat hari raya idul adha ya kak, sehat selalu. Salam toleransi.”

Chat dari silva mengomentari SWku. Seketika aku tidak bisa berkata apa-apa.

“ Iya Silva, makasih banyak.”

Sebegitu tingginya toleransi mereka walaupun sudah berjauhan, sebegitu baiknya mereka, iya rasa sayang ini semakin ada untuk mereka, rindu ini semakin membuncah merekah namun sayangnya titik temu tidak bisa dirubah. Pun di Akhirat nanti, bertemu mereka adalah suatu kemustahilan, yak arena Aamin kita berbeda. Sayang banget sama kalian tapi mau bagaimana kita harus menerima semua ketentuanNya. Terimakasih atas semuanya ya, masih banyak cerita-cerita yang belum teaksarakan.

***

Lengkungan senyum pelangi di lorong entikong 🌈

Metamorfosa yang kutulis dalam aksara senja

Merapal dalam kata yang bermetamorfosis dalam rasa.

Kedatangan yang disambut dengan lengkungan maxilla dan mandibula, serasa manis sekali di rupa karsa.

Entikong, Kalimantan Barat.

Tuhan, terbuat dari apa hati mereka? Sebaik ini menerima kita? Bukankah kita orang asing untuk mereka?

10 hari yang tak terduga kemanisannya..

Terimakasih banyak sudah mengajarkan banyak hal..

Tentang,

Aksara senja dalam lorong entikong

Datang layaknya senja yang menepi pada sendu

Hadir dalam kajian rasa yang ku kira hanya membekas pada aksara

Namun ternyata membekas dalam seni rupa rasa.

Aku bukan siapa2 dalam menjalin cerita di metamorfosa itu. Namun aku berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam sendu yang membiru.

Menyayangi, aku menyayangi mereka,. Iya sangat.

Aku memang tidak seperti mereka yang  bisa mengeluarkan air mata sayangnya untuk kalian dik.

Namun kau tau dalam kehadiran ruang sunyi, dalam sujudku kepada illahi, air itu mulai mengalir di pipi.

Mungkin aamiin kita tak sama, namun kenapa rasa sayang ini membara buana dalam rasa.

Senyummu, tawamu, bahkan tangisan sayangmu, akan selalu menjadi api karsa dalam kehidupan aku.

Sampai jumpa pada waktu yg belum menentu.

Maaf kami memilih untuk pamit 🙏

Semoga takdir tuhan slalu menyertai kita. Salam toleransi dari Kak Nafisah 🙂

Share on whatsapp
Share on telegram
Share on facebook
Share on linkedin
Ingin karya mu ada disini?
dedikasiuntukn@gmail.com
085171184292

Sila Kedua dan Nilai Kemanusiaan

Oleh: Irfandi Rizki Tomagola Mahasiswa Fakultas Agama Islam, Universitas Darunnajah Pendahuluan Setelah melewati masa panjang perjuangan untuk mencari kemerdekaan Indonesia, akhirnya NKRI di janjikan oleh

Read More »

Sesuatu di Sudut Alun-Alun Kota

Oleh: Febri Safitry Hari yang tenang dan cuaca yang mendukung untuk berkeliling di sekitar alun-alun kota. Yap. Sore ini aku sedang bersepeda seorang diri memutari

Read More »

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *