Dedikasi Untuk Negeri

Sesuatu di Sudut Alun-Alun Kota

Oleh: Febri Safitry

Hari yang tenang dan cuaca yang mendukung untuk berkeliling di sekitar alun-alun kota. Yap. Sore ini aku sedang bersepeda seorang diri memutari alun-alun kota. Rasanya sangat menyenangkan bisa bersepeda sambil melihat ke sekeliling alun-alun yang saat itu sedang ramai pengunjung. Karena lelah aku pun menepikan sepedaku dan duduk di pinggir lapangan sambil meminum air yang memang sengaja ku bawa dari rumah. Aku melihat ke sekeliling. Banyak ku lihat anak-anak yang sedang berlarian dan bermain dengan riangnya, ditemani oleh para orang tua yang sedang bercengkrama sambil sesekali tertawa melihat tingkah anak mereka yang lucu.

Sejauh mataku memandang tak ada yang janggal memang. Namun di sudut itu, di salah satu titik yang tak terpantau banyak orang, aku melihat sesuatu dan memperhatikannya dengan seksama. Hingga aku tak sadar ada seorang lelaki paruh baya yang duduk di sampingku seraya berkata, “kamu melihatnya?”

“Hah?”, tentu saja itu adalah reaksi terkejut ku saat menoleh ke samping ternyata ada seorang bapak yang sepertinya mengajak aku bicara. “Oh maaf Pak, aku tidak tahu jika ada Bapak di samping ku. Karena saat aku duduk di sini tadi tidak ada orang.”

“Hahaha tak apa. Maaf karena membuatmu terkejut.” Ucap bapak itu sambil tertawa dan terlihat ada sedikit rasa bersalah di raut wajahnya. “Perkenalkan, nama Bapak adalah Adhi Witjaksono, panggil saja Pak Adhi. Siapa namamu, Nak?” Orang asing yang tiba-tiba duduk di sampingmu memperkenalkan diri kemudian menanyakan namamu? Aneh, namun tidak ada alasan bagiku untuk mencurigainya. Entah kenapa aku pun tidak tahu alasannya. Baiklah akan ku jawab saja, “Nama ku Ciara, Pak”.

“Jadi, Nak, apakah kamu melihatnya?”, pertanyaan yang sama kembali diajukan karena tadi aku belum menjawabnya. Kembali netraku mengarah ke sudut itu. “Ya, aku melihatnya”, ucapku sambil terus memperhatikan sesuatu di sudut sana. “Bagaimana menurutmu?” Apakah ini semacam kuis dadakan? Kenapa Bapak ini bertanya seperti itu padaku jika beliau sendiri tahu jawabannya.

“Apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu saat melihatnya?” Pak Adhi kembali melontarkan pertanyaan. Sepertinya beliau sedang serius sekarang. “Sedih dan kasihan”, jawabku dengan pelan dan hati-hati. “Kenapa?”, baiklah ku rasa ini memang kuis dadakan, semacam tanya jawab yang membuatmu bingung bagaimana cara menjawabnya. “Karena tidak seorangpun yang memperhatikannya.”

Ku lihat Pak Adhi tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku. Awalnya aku kaget dan takut padanya, tapi sepertinya beliau tidak seburuk yang ku kira. “Memang kasihan. Tapi tidak semua yang terlihat menyedihkan itu harus dikasihani.” “Kenapa?” Sungguh aku tak mengerti dengan maksud dan arah perkataannya. “Nak, tidak semua yang terlihat menyedihkan itu harus dikasihani, melainkan butuh dukungan dan tempat yang bisa dijadikan untuk cerita dan bersandar.”
‘Jika kesusahan bukankah mereka bisa menceritakannya pada orang terdekat?’, ingin ku katakan seperti itu. Namun ternyata rasa penasaranku lebih besar.

“Kenapa?”, aku tidak bohong! Aku masih belum mengerti dengan arah pembahasan Pak Adhi. Ayolah otakku sudah penuh dengan tugas sekolah dan tujuanku ke alun-alun adalah untuk menghirup udara segar, bukannya menambah beban pikiran dengan segala pertanyaan dan pernyataan yang dilontarkan oleh bapak di sampingku ini.

“Menurutmu apa alasannya, Nak?”
“Ntahlah, Pak. Aku tidak tahu, bingung bagaimana cara menjawabnya.”
“Yang seharusnya kita lakukan saat melihat hal seperti itu adalah memberikan dukungan dan semangat. Bukan hanya sekadar menatap iba lalu pergi begitu saja. Percayalah mereka juga ingin cerita mereka didengar oleh orang lain.”
“Cerita? Memangnya apa yang ingin mereka ceritakan?” Baiklah, ku akui sekarang aku mulai tertarik dengan pembahasan ini. Rasanya seperti akan ada hal baru yang akan ku dapatkan nanti setelah pembahasan ini selesai. Dan jujur aku juga mulai tertarik dengan objek yang sedang kami amati sedaritadi.

“Banyak. Tentang bagaimana cara mereka untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan dunia saat ini, tentang bagaimana mereka yang selalu terabaikan dan dianggap tidak ada oleh orang lain, tentang bagaimana mereka yang sangat ingin menggapai cita-cita namun terhalang oleh keadaan, atau bahkan mungkin hanya sekadar tentang keinginan seorang anak kecil yang tidak bisa bermain bersama teman-teman seusianya karena terlalu sibuk untuk mencari sesuap nasi yang akan dibagikan lagi kepada anggota keluarganya yang lain.” Kosong. Aku tak bisa memikirkan apapun di kepalaku. Aku merasa seperti tiba-tiba kehilangan kemampuan berbicara dan melupakan semua kosa kata yang sudah ku hafalkan sejak kecil. Berlebihan memang, tapi begitulah

perumpamaannya. Hingga kemudian pertanyaan Pak Adhi kembali membuatku tersadar.

“Bagaimana menurutmu, Nak? Apa kamu sudah mengerti sekarang?” Ya. Aku mengerti sekarang apa yang sedang ingin dibicarakan oleh lelaki paruh baya di sampingku ini. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil dan beliau tersenyum.

“Apa kamu pernah membayangkan bagaimana rasanya berkeliling dengan kaki kecil itu, berpanas-panasan sambil menenteng keranjang berat yang bukan ukuran untuk anak seusiamu? Sementara di sepanjang jalan kamu melihat anak seusiamu dengan riangnya bermain sepeda atau jenis permainan lainnya?”. Sungguh tak pernah ku bayangkan hal yang seperti itu. Aku merasa tersentil dengan pertanyaan beliau. Mengapa aku masih sering tidak pandai bersyukur atas apa yang sudah ku miliki?

“Kamu tahu apa yang ada di dalam keranjang itu? Beberapa bungkus keripik tempe sagu yang harga perbungkusnya tidak seberapa namun sangat sulit untuk menjualnya. Kamu tahu alasan kenapa dia menjual itu?”. “Untuk mendapatkan uang supaya bisa membeli makanan?”, aku menjawab atau mungkin balik bertanya dengan tidak yakin.

“Dia tahu bahwa saat ini sudah jarang orang yang memakan makanan itu karena zaman sudah berubah dan ada banyak makanan jenis baru sekarang. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa dia lakukan. Walaupun rasanya tak sanggup, namun demi baktinya pada keluarga dia berjuang untuk mencari pelanggan yang suka rela membeli dagangannya. Dia merelakan masa kecilnya, dia merelakan waktu yang seharusnya dipakai belajar dan bermain untuk anak seusianya”.

Sudah cukup. Aku tidak sanggup lagi untuk menahan air mataku yang rasanya ingin tumpah saat ini juga. Kenapa hal itu tak pernah terpikirkan olehku? Kenapa aku hanya selalu menyalahkan orang tua mereka yang dengan tega menyuruh anak mereka berjualan. Bukannya pergi ke sekolah, menuntut ilmu, dan bermain dengan teman-temannya. Ternyata bukan karena orang tuanya tega, tapi karena keadaan yang memaksa mereka untuk melakukan hal itu. Hidup dengan serba kekurangan adalah alasan utamanya. Sungguh selama ini aku memiliki pemikiran yang buruk dan sempit. Tidak seharusnya aku menyalahkan siapapun disaat keadaan mereka tidak
bisa dikatakan baik-baik saja.

“Apakah sekarang kamu sudah mengerti, Nak?”

“Ya, aku mengerti sekarang. Terimakasih karena sudah menyadarkan ku tentang
bagaimana kehidupan mereka yang sebenarnya.”
“Hey, tidak perlu menangis hahaha. Apa yang kamu tangisi?”
“Ntah aku hanya merasa sedih saja saat mendengar perkataan Bapak tadi.”

Lagi-lagi Pak Adhi tersenyum. “Apa kamu dan orang tuamu suka keripik tempe?”, kenapa tiba-tiba malah menanyakan itu? “Aku bisa dibilang suka tapi tidak terlalu banyak. Tapi keripik tempe adalah favorit orang tua ku yang harus mereka beli saat ke Jogja. Saat kami mampir ke toko oleh-oleh, mama akan berkeliling untuk menemukan keripik itu.” Lagi. Tersenyum lagi. Ku doakan semoga Pak Adhi banyak pahala karena sering tersenyum.

“Itu lah, pedagang kecil yang berkeliling akan kalah dengan toko oleh-oleh yang besar dan nyaman”. Oh! Aku tersadar akan sesuatu. “Apa kamu tahu apa yang harus dilakukan sekarang?”,tanya Pak Adhi sambil menyelipkan sesuatu di tanganku. Sekali lagi ku beritahu, aku sama sekali tidak menaruh curiga terhadap bapak paruh baya ini.

“Uang?” Kenapa beliau memberiku uang? Apa beliau mengira jika aku tidak membawa uang saat pergi dari rumah ke sini? “Pergilah, hampiri dia. Bapak yakin kamu paham apa yang harus kamu lakukan sekarang”, ujar Pak Adhi sambil berdiri dan bersiap untuk pergi.

“Apa aku boleh bertanya satu hal lagi?”
“Apa?”
“Kenapa Bapak sangat paham dengan apa yang mereka alami dan rasakan?”
“Karena Bapak pernah mengalaminya sendiri. Dulu. Sangat sulit”, kalimat terakhir yang diucapkan oleh Pak Adhi sebelum akhirnya benar-benar pergi dan meninggalkan ku sendirian di tempat kami duduk tadi. Ah, aku mengerti sekarang. Kemudian sambil menuntun sepedaku, aku menghampiri seseorang yang sedaritadi menjadi objek pembahasan ku dengan Pak Adhi.

“Hai! Apa aku boleh duduk di sini? Siapa namamu?”

Dan begitulah. Sore itu di salah satu sudut alun-alun kota aku mendapatkan banyak pelajaran berharga dan cerita baru. Sesuatu yang membuatku harus lebih banyak bersyukur dan berpikiran terbuka. Sesuatu yang membuatku sadar tentang pentingnya arti dari sebuah perjuangan dan pengorbanan

 

Share on whatsapp
Share on telegram
Share on facebook
Share on linkedin
Ingin karya mu ada disini?
dedikasiuntukn@gmail.com
085171184292

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *