Oleh: Minaha Nisatul Kholis
Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, namun kenyataannya masih jauh dari kata merata. Di tengah riuh berita tentang kemajuan teknologi dan pembangunan infrastruktur, ada cerita lain yang kerap luput dari perhatian: ketertinggalan pendidikan, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Sebagai seorang relawan, saya, Minaha, pernah merasakan langsung betapa nyata ketimpangan pendidikan itu. Saat melakukan pengabdian di Indonesia Timur, saya menyaksikan anak-anak yang harus menempuh perjalanan jauh menuju sekolah, Menyusuri aliran sungai, meniti perbukitan curam tanpa alas kaki, dan menahan panas terik matahari maupun hujan deras. Banyak di antara mereka datang tanpa tas, berseragam seadanya, bahkan tanpa atribut sekolah lengkap. Namun, ada satu hal yang tidak pernah hilang dari wajah mereka: semangat belajar yang menyala, seakan setiap langkah adalah doa, dan setiap jejak adalah perjuangan menuju masa depan.
Ironisnya, ketimpangan itu tidak hanya saya temukan di daerah pelosok. Saat mengabdi di Banten, bahkan di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) yang jelas-jelas disebut pusat perkotaan, potret serupa masih bisa ditemukan. Ada anak-anak yang masih kesulitan mengakses fasilitas pendidikan yang layak, ruang kelas yang sempit dan kurang pencahayaan, bahkan minim pendampingan akademik. Semua ini menunjukkan bahwa masalah pendidikan bukan hanya milik daerah terpencil, melainkan juga hadir di depan mata kita.
Berita-berita yang akhir-akhir ini marak pun semakin menegaskan luka lama dunia pendidikan: mulai dari kasus anak putus sekolah karena faktor ekonomi, krisis guru di beberapa daerah, hingga kesenjangan kualitas pendidikan antara desa dan kota. Kita tidak bisa menutup mata, seolah-olah itu hanyalah masalah sebagian kecil masyarakat. Sesungguhnya, ini adalah masalah kita bersama sebagai bangsa.
Maka, diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak yakni pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, hingga kita sebagai relawan atau apapun itu prosfesi kita untuk bergandeng tangan mengatasi masalah ini. Sebab, pendidikan bukan sekadar urusan angka partisipasi sekolah, melainkan tentang membangun peradaban, memerdekakan manusia, dan memberi harapan pada masa depan.
Mari kita renungkan, bahwa di balik senyum polos anak-anak yang berlari ke sekolah meski tanpa alas kaki, tersimpan pesan kuat: mereka tidak butuh kemewahan, yang mereka butuhkan hanyalah kesempatan. Dan tugas kitalah untuk membuka jalan itu.