Oleh: Ahmad Sulthan Aulia
September adalah jendela renungan.
Ia datang tanpa gegap, tapi menjejak lembut di dasar jiwa, seperti embun yang menulis puisi di ujung daun. Dalam perjalanan sepanjang bulan ini, kita seolah diajak menapaki jalan setapak yang tak sepenuhnya terang. Antara riuh realitas dan hening batin yang menunggu dipahami. Setiap hari menampilkan wajahnya yang berbeda. Kadang hangat, kadang getir, kadang hampa. Namun justru dari perjumpaan dengan segala rasa itu, kita belajar satu hal yang tak diajarkan oleh waktu yang tergesa. Bahwa hidup bukan sekadar lintasan peristiwa, melainkan tafsir panjang tentang keberadaan. Kita hidup untuk membaca, bukan hanya mencatat untuk menghayati, bukan sekadar mengalami.
Ada pertemuan yang terasa seperti musim semi. Menumbuhkan asa dan keyakinan bahwa dunia ini masih penuh kemungkinan. Namun ada pula perpisahan yang menyerupai gugurnya daun. Menyisakan ruang hampa yang ternyata tak harus diisi. Kita belajar bahwa kehilangan tidak selalu berarti kekurangan. Kadang ia justru cara semesta memberi ruang bagi pertumbuhan yang baru.
Dalam diam yang sering tak kita pahami, semesta sedang berbisik. Ia berbicara melalui peristiwa sederhana. Dari tatapan yang tak sempat dibalas, dari langkah yang tertunda, dari hujan yang datang di luar rencana. Di sanalah kita mulai memahami, bahwa tak semua yang indah perlu dimiliki, dan tak semua yang berat harus dilawan. Ada kalanya kita hanya perlu menunduk, membiarkan waktu mengajar dengan caranya sendiri.
September juga menegur dengan lembut. Bahwa kelelahan bukan tanda lemah, melainkan bukti bahwa kita telah berjuang. Bahwa ragu adalah bagian dari iman, dan sepi bukan kutukan, melainkan ruang bagi jiwa untuk bertemu dirinya sendiri. Dalam ziarah sunyi itu, kita menemukan makna yang tak bisa dicatat oleh pena, hanya bisa dirasakan oleh hati yang ikhlas menerima luka sekaligus cahaya.
Di penghujung bulan, kita mungkin tidak menjadi lebih kuat, tapi mungkin sedikit lebih mengerti. Tentang bagaimana waktu bekerja seperti penyair. Menghapus, menunda, tapi juga menulis ulang nasib dengan lembut. Kita belajar, bahwa yang fana tetap indah karena kefanaannya, dan yang abadi hanya dapat dirasakan di dalam jiwa yang rela berdamai dengan dirinya sendiri.
Maka, September bukan sekadar bulan yang berlalu. Ia adalah guru yang tak meminta tepuk tangan. Hanya mengajak kita diam sejenak, menatap ke dalam, dan memahami, bahwa perjalanan hidup bukan tentang sampai di mana, tapi tentang siapa yang kita temukan di tengah perjalanan.
Jakarta, 30 September 2025